Subtitle: Lihat kotaku, penuh krisis eksistensial~
Orang-orang selalu bilang hidup di kota besar bisa bikin gendeng. Apalagi kota besar yang dimaksud itu Jakarta, dimana (katanya) orang-orangnya serba buru-buru, egois, individualistis, dan kata-kata sifat lain yang dirasa tepat menggambarkan orang Jakarta. Bagian terburu-buru memang bisa dimengerti mengingat banyak pekerja Jakarta yang tinggal di kota-kota penyangga dan jadwal transportasi publik lumayan terbatas. Tapi individualistis?
Awalnya saya skeptis. Tapi setelah melihat salah satu teman saya sampai pacaran dengan AI karena pandemi membuat sakit introvertnya semakin parah, saya mulai mengevaluasi opini awal saya. Muncul pula pertanyaan baru: apa sih yang membuat kota menjadi sarang kesepian?
Anatomi Kesepian
Sekarang, 56% alias 4,4 miliar penduduk dunia tinggal di perkotaan. Jumlahnya diprediksikan akan terus naik, mengingat banyak pekerjaan sekarang berpindah ke kota. Beberapa kota besar yang dianggap akan terus tumbuh adalah Jakarta, New York, Seoul, Tokyo, dan London.
[Grafis pake map kota masing-masing: New York (8,4 juta penduduk); Seoul (9,7 juta penduduk); Tokyo (13,9 juta penduduk); London (8,9 juta penduduk); Jakarta (10,6 juta penduduk) → w mau ini gerak2]
Sebagai tempat dengan populasi terpadat di seluruh dunia, seharusnya penduduk kota-kota tersebut tak pernah mengalami kesepian. Kenyataannya justru sebaliknya: banyak penduduk Jakarta yang mengakui kesepian. Fenomena yang sama juga dilaporkan di New York, Seoul, Tokyo, dan London.
Masalahnya bukan di jumlah populasi yang kurang banyak atau hiruk-pikuk yang tak cukup banyak. Justru masalahnya ada di hubungan sosial kita yang semakin menipis dan tak berkualitas; kita gagal membangun koneksi emosional yang bermakna. Kita boleh kenal banyak orang, tapi seberapa banyak orang di lingkar sosial kita yang bisa dianggap sebagai teman curhat?
[infografis: Manusia bisa membuat hubungan sosial sampai 150 orang. Namun kualitas hubungannya bisa berbeda-beda–dari puluhan sampai ratusan orang yang kita kenal, maksimal 5 orang bisa dianggap sebagai teman dekat. Studi lain menunjukkan seseorang perlu 3-5 teman dekat untuk bahagia. → mau ini gerak2 jg]
Sumber: Your Brain Limits You to Just Five BFFs | MIT Technology Review, Friendships, Subjective Age, and Life Satisfaction of Women in Midlife - Degges‐White - 2020 - Adultspan Journal - Wiley Online Library]
Namun banyak dari kita yang tak seberuntung itu. Pasalnya, membangun pertemanan yang berkualitas membutuhkan komitmen waktu yang banyak. Studi yang dilakukan oleh Hall (2018) menunjukkan seseorang harus menginvestasikan setidaknya 223-737 jam dalam 6 bulan terakhir untuk teman baik dan sahabat mereka supaya pertemanan tersebut bisa terus hidup. Pun kalau kita ingin naik status dari teman ke teman dekat sahabat, kita harus menginvestasikan setidaknya 119 jam untuk nongkrong atau mengobrol/chatting dalam waktu 3 minggu, ditambah dengan 219 jam dalam 3 bulan ke depan.
Sumber: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0265407518761225
Nah, masalahnya bagaimana bisa membangun dan memelihara pertemanan kalau piring kita sudah dipenuhi oleh jam kerja yang panjang, biaya hidup yang terus melambung sementara penghasilan segitu-gitu saja, dan tata kota buruk yang membuat orang kesulitan untuk bertemu dan berkumpul?
Masalah #1: Jam Kerja Panjang Bikin Gendeng
Data BPS per Februari 2022 menunjukkan banyak anak muda Indonesia yang menghabiskan waktu 40-60 jam kerja/minggu. Kelompok umur 20-24 tahun, 25-34 tahun, dan 35-44 tahun paling banyak menghabiskan waktu selama 45-49 jam/minggu. Lebih parahnya lagi, ada 4,6 juta pekerja muda yang menghabiskan 60+ jam waktu mereka di tempat kerja.
Jam kerja yang panjang punya efek yang serius ke kesehatan fisik dan mental, dari hipertensi, stroke, serangan jantung, depresi, gangguan kecemasan, dan masih banyak lagi. Permasalahan fisik biasanya disebabkan oleh kebanyakan waktu pekerja dihabiskan duduk di depan komputer. Sedangkan permasalahan mental biasanya disebabkan oleh berkurangnya interaksi sosial yang bermakna, tuntutan kerja yang gila-gilaan, dan stres yang bisa mempengaruhi mood.
Toh bagaimana kita bisa nongkrong seru dengan teman-teman kalau di kepala isinya pekerjaan yang belum selesai, celotehan kolega kerja dan bos, serta gaji yang mandek? Tapi ada juga yang berceletuk kalau stres akibat jam kerja yang panjang bisa diobati dengan kenaikan gaji. Sayangnya, prakteknya justru berbanding terbalik. Penelitian di Tiongkok menunjukkan kenaikan gaji, asuransi kesehatan, dan jam kerja yang panjang tetap punya korelasi buruk terhadap kesehatan pekerja.
Artinya? Apalah duit banyak kalau kitanya saja tak bisa menggunakannya untuk bersenang-senang dengan teman~
Masalah #2: Transportasi Publik Bolong Bikin Susah Nongkrong
Perlu diingat pula mereka yang kerja 60+ jam ini belum termasuk waktu yang dihabiskan di jalan. Paling apes pekerja Jabodetabek yang harus berjibaku dengan macet Jakarta yang seperti simulasi yaumul mahsyar. Kemacetan bukan hanya soal jumlah kendaraan pribadi yang melampaui kapasitas jalan, tapi punya akar di tata kota yang berantakan.
Tata kota Indonesia terutama Jakarta terlalu memanjakan kendaraan pribadi tapi abai terhadap infrastruktur transportasi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari betapa besarnya cuan yang dibawa oleh industri otomotif ke kas negara. Tentu tak seperti transportasi publik yang justru membolongi pundi-pundi negara karena memang fokusnya adalah memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat, bukan untuk mencari untung.
Sadar atau tidak sadar, efek dari ketergantungan terhadap kendaraan pribadi bisa merembes kemana-mana. Biaya perawatan, bensin, pajak dan tetek-bengek lainnya bisa membuat dompet meringis. Belum lagi terperangkap dalam kendaraan pribadi selama berjam-jam membuat kita semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.
Sayangnya, pemerintah nampaknya semakin berpihak pada industri otomotif alih-alih rakyat. Lihat saja kebijakan ajaib terbaru mereka yang ingin menaikkan tarif KRL untuk orang kaya. Implikasinya panjang: dari menurunnya angka pengguna karena harga naik, semakin banyaknya pengguna transportasi privat, sampai ke menurunnya dukungan masyarakat terhadap kebijakan transportasi umum yang kemudian merembes ke prioritas pemerintah ke industri otomotif.
Efek dari implikasi terakhir tentu saja fatal, baik dari segi lingkungan, kesehatan fisik dan mental, serta mobilitas. Terutama mobilitas perempuan, ibu, anak, lansia dan penyandang disabilitas. Transportasi publik yang sekarang merupakan tempat yang tak aman bagi perempuan dan tak ramah difabel. Berkurangnya perhatian pemerintah pusat dan lokal terhadap isu ini akan semakin membuat infrastruktur vital
Masalah #3: Jeleknya Tata Kota Bikin Pusing Kepala
Kalian yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dll pastinya sudah merasakan betapa malasnya ketemu teman karena jarak tempuh yang jauh. Jogja lebih parah lagi; kalau waktu tempuh lebih dari 15 menit atau 5 kilometer, anggapannya sudah terlalu jauh. (Ya, dari sini saja saya sudah bisa membayangkan misuh-misuhnya orang Jakarta).
Masalah jarak yang jauh ini tak bisa dilepaskan dari buruknya tata kota. Sistem perumahan Indonesia yang lebih mengutamakan rumah tapak alih-alih apartemen atau hunian susun membuat jarak yang lumayan jauh dari satu tempat ke satu lain. Belum lagi perumahan Indonesia yang cenderung berkluster membuat orang-orang harus berpergian menggunakan motor/mobil/transportasi publik untuk mendapatkan kebutuhan mereka.
Padahal, sistem tata kota yang paling optimal adalah yang memaksimalkan infrastruktur penting kota dalam satu blok (mixed-use city block). Dalam sistem ini, rumah, supermarket, sekolah, lapangan olahraga, taman, kantor, akses ke transportasi publik, dan lain-lain digabung dalam satu daerah alias blok. Jadinya setiap tempat bisa diakses dengan jalan kaki atau bersepeda, mengurangi ketergantungan terhadap mobil dan motor. Kegiatan jalan-jalan bersama teman dan keluarga pun bisa lebih sering dilakukan.
Tak hanya itu, berkurangnya penggunaan mobil dan motor juga bisa membebaskan lahan parkir, mengubahnya menjadi area hijau. Area hijau ini bukan hanya penting untuk lingkungan, tapi juga untuk mengurangi tingkat kesepian masyarakat kota. Penelitian tahun 2008 ini menunjukkan bertemu dan berkumpul di tempat yang banyak pohon mengurangi kemungkinan orang merasa kesepian sebanyak 28%. Angkanya semakin turun seiring dengan meningkatnya ruang hijau.
Intinya, obat kesepian penduduk kota adalah ruang kota yang hijau, transportasi yang memadai dan mudah dijangkau yang juga mendukung aktivitas kelompok. Lalu jangan terlalu banyak mendedikasikan waktu untuk kerja. Lebih baik waktunya dipakai untuk nyantai saja. Niscaya kesepian sekaligus masalah kesehatan fisik-mental akan pergi dengan sendirinya.