“Sirik ke atas, jijik ke bawah”: Sudah Saatnya Kita Merubuhkan Mitos Meritokrasi

n mengikuti mata kuliah unggul perguruan tinggi terkemuka di dunia.” Mahasiswa juga diharapkan bisa mengembangkan kemahiran lintas budaya, memperkuat jejaring internasional, dan mempersiapkan diri untuk dunia kerja setelah lulus nanti. 

 

Program ini mendapat banyak apresiasi dari berbagai pihak. Terutama bagi para mahasiswa, yang merasa ini sebagai cara tercepat untuk merasakan kuliah di luar negeri, barang satu semester sekalipun. 

 

Di tahun pertamanya, program ini tak mendapat banyak perhatian. Ketertarikan baru muncul kala program ini memasuki tahun kedua. Warganet mulai mempertanyakan tujuan dari program ini—infrastruktur pendidikan dalam negeri saja masih kacau, kenapa malah membuat program pertukaran pelajar yang hanya memfasilitasi 1.565 mahasiswa? Suara sinis lainnya mengatakan program ini ada hanya untuk membuat mahasiswa plesir gratis di luar negeri. Paling menohok para awardee atau penerima beasiswa dituduh menghabiskan waktu di luar negeri hanya untuk “ciuman dengan bule dan mabuk-mabukan”. 

 

Sontak para awardee membela diri. Mereka mengatakan program ini penting untuk pengalaman dan CV mereka, bahwa mereka belajar banyak dari satu semester kuliah di universitas luar, dan seabrek hal-hal lainnya. Ketika ada yang menunjukkan bahwa mayoritas awardee berasal dari keluarga menengah dan menengah-atas, mereka membalas dengan “program ini merupakan program merit-based” alias berbasis prestasi.

 

Yang menjadi pertanyaan, benarkah? Atau jangan-jangan ini hanya satu dari sekian mitos meritokrasi yang sering dielu-elukan perguruan tinggi dan pemerintah? 

 

Mitos Meritokrasi 

 

Siapapun bisa sukses asal punya kemampuan dan mau berusaha, tulis Michael Young dalam novelnya, The Rise of Meritocracy 1870-2033 (1958). Sistem ini menghargai kecerdasan dan prestasi—orang-orang cerdas dan pekerja keras berada di posisi atas, sementara mereka yang tak punya prestasi dan pemalas ada di bawah. Otak encer, tekad, dan kesabaran adalah kunci dalam masyarakat ini. Siapapun bisa sukses asal punya tiga hal tadi. 

 

Konsep meritokrasi yang diperkenalkan Young sebetulnya adalah sindiran terhadap sistem pendidikan Inggris yang membedakan sekolah si kaya dan sekolah si miskin. Young mewanti-wanti sistem ini akan meningkatkan kesenjangan dan semakin meninggalkan kaum duafa. 

 

Sayang, Young gagal mempertimbangkan bahwa konsep ironisnya ini akan dipelintir oleh politikus untuk memajukan agendanya. Politikus itu tak lain dan tak bukan adalah Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris. Blair, dalam pidatonya sejak 1995 hingga 2000, menyatakan meritokrasi sebagai sistem yang memberikan kesetaraan dalam kesempatan. Ironisnya, ia juga menggunakan istilah itu untuk memperkenalkan kebijakannya yang memprioritaskan siswa-siswa pintar dan sekolah unggulan.

 

Layaknya distopia Young, metode penilaian kebijakan pendidikan Blair bergantung pada tes. Setiap siswa harus menjalani tes. Sekolah yang siswanya konsisten mendapat nilai bagus mendapat ‘hadiah’ dari pemerintah berupa kebebasan untuk merancang kurikulum dan sumber daya yang lebih banyak. Sekolah-sekolah yang hasilnya biasa saja? Hanya bisa gigit jari. 

 

Pola yang sama juga bisa dilihat di Indonesia. Untuk masuk sekolah unggulan—apalagi sekolah negeri—membutuhkan nilai tinggi. Sulit memang, tapi keuntungan yang diberikan tidak main-main. Fasilitas bagus, guru yang cakap, lingkungan kompetitif, dan kans besar untuk masuk ke perguruan tinggi favorit. Sampai-sampai ada istilah “bedol desa”, dimana >50% siswanya masuk ke universitas-universitas favorit.

 

Ketika sampai di universitas impian, mereka disambut oleh mitos meritokrasi yang lebih kencang dari sebelumnya.  ITB dulu menerima para mahasiswa barunya dengan baliho “Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa”, sebelum menggantinya dengan “Selamat Datang Para Calon Pemimpin Global”. UGM menyebut dirinya “tak hanya melahirkan putra-putri terbaik, tapi juga orang-orang hebat”. UI dengan bangga menyatakan dirinya sebagai universitas terbaik se-Indonesia, mengimplikasikan mahasiswa dan alumninya terbaik di seluruh negeri. 

 

Indoktrinasinya tak berhenti di situ. Di kelas, para dosen terus mengingatkan mahasiswanya bahwa mereka bisa duduk di bangku itu berkat keenceran otak dan kerja keras. Kesuksesan bisa dicapai bagi mereka yang punya tekad kuat dan kesabaran untuk terus maju, begitu tutur mereka. Lalu mereka akan menunjuk anak tukang becak, anak petani miskin, dan anak dari keluarga miskin lainnya sebagai contoh paling konkrit dari keberhasilan meritokrasi.  

 

Tapi bagian mayoritas mahasiswa bisa diterima berkat usaha orangtua mereka, dari memasukkan mereka ke sekolah top dari SD sampai SMA, membayar bimbel yang biayanya di atas rata-rata pendapatan masyarakat, dan tekanan besar untuk masuk PTN dari usia dini, sengaja tidak disebut. 

 

Tulisan ini tidak menafikan bahwa ada orang-orang dari latar belakang kurang beruntung bisa sukses. Toh contohnya sudah disebut di atas. Justru saya ingin menunjukkan bahwa mitos meritokrasi—terutama di pendidikan tinggi—tidak menguntungkan siapapun. Ya, bahkan untuk yang kaya.

 

Kenyataan di Lapangan

 

Secara teori, meritokrasi terlihat adil karena mengedepankan kerja keras dan prestasi. Fokus belajar yang rajin, maka kesempatan akan turun dari langit. Tapi kenyataannya tidak seindah itu. Kesenjangan yang tajam membuat garis mulai orang-orang berbeda; mereka yang berasal dari keluarga mampu garisnya lebih maju daripada mereka yang berasal dari keluarga miskin. Mereka yang dari keluarga menengah akan terus mapan atau bahkan naik kelas. Tapi mereka yang dari keluarga miskin kemungkinan akan terus miskin. 

 

Lingkaran setan kemiskinan ini sulit dilepaskan. Alasannya tak jauh-jauh dari (kurangnya) uang. Bagi orang miskin, tindakan rasional yang bisa diambil adalah menyekolahkan anaknya secukupnya, lalu mengajak mereka untuk bekerja supaya mereka bisa bertahan hidup. Ya, rasional, karena menyekolahkan anak artinya harus mengeluarkan lebih banyak uang dan memperpanjang waktu untuk merawat mereka. Waktu dan uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal lain yang lebih penting, seperti merawat anak yang lebih kecil. 

 

Itu baru masalah uang dan waktu. Belum pengetahuan untuk memilih sekolah bagus, membantu anak mengerjakan PR, memberi perhatian ke kebiasaan belajar anak, dan seabrek hal lainnya. Hal-hal ini tidak bisa dilakukan keluarga miskin karena sumber dayanya tidak ada. 

 

 

 

Data BPS (2022) ini memberikan gambaran kenapa banyak anak dari pengeluaran kuintil 1 (keluarga miskin) banyak yang putus sekolah setelah lulus SMP. Anak yang dari keluarga kuintil 5 (keluarga kaya) cenderung punya partisipasi pendidikan yang konsisten tinggi, bahkan sampai perguruan tinggi. 

 

 

 

Ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan total sarjana dari seluruh Indonesia.

 

 

Data ini semakin memperkuat penelitian SMERU (2015 dan 2019) tentang pengaruh kemiskinan terhadap kesuksesan anak. Penelitian tahun 2015, yang melibatkan hasil tes Matematika, menunjukkan anak miskin bisa punya tingkat kecerdasan yang sama dengan anak kaya. Tapi kecerdasan saja tidak cukup untuk membuat mereka sukses. Karena untuk sampai ke situ butuh uang, koneksi, akses ke pendidikan formal dan non-formal, dan keberuntungan yang besar.  

 

Sayangnya, paham meritokrasi sudah terlanjur mendarah daging. Semua orang, kaya dan miskin, percaya yang dibutuhkan hanya kerja keras dan doa. Aspek ekonomi dan sosial yang lebih penting sengaja dilupakan karena artinya mayoritas orang sukses harus mengakui mereka beruntung lahir di keluarga mapan dan bahwa meritokrasi sama sekali tidak adil. 

 

Tidak mengakui dua aspek tadi punya efek negatif yang besar, terutama bagi anak-anak keluarga miskin. Studi yang dilakukan Godfrey, Santos, dan Burson (2017) menunjukkan anak-anak miskin yang percaya meritokrasi memiliki kepercayaan diri yang lebih rendah dan terlibat dalam perilaku berisiko di bangku SMP. Ini bisa terjadi karena apa yang mereka percaya tidak selaras dengan kenyataan. Mereka mulai paham bahwa kerja keras untuk mengejar mimpi tak ada gunanya, karena toh orangtua hanya bisa membiayai pendidikan mereka sampai SMP. 

 

Menariknya, ketidakadilan meritokrasi tak hanya dirasakan oleh mereka yang miskin. Mereka yang posisi ekonominya lebih mapan juga sengsara. Meritokrasi membuat kompetisi semakin ketat. Anak dan orangtua harus mengeluarkan uang, waktu, dan energi yang lebih banyak untuk memastikan mereka bisa lebih depan dibanding teman-temannya. Tak heran sekarang kita sering melihat calon orangtua dan yang sudah resmi menjadi orangtua kalang-kabut mencari sekolah swasta, kalau bisa yang berkurikulum dan terakreditasi internasional, untuk semakin meningkatkan kemungkinan sukses anak mereka di masa depan. Belum lagi bimbel dan kegiatan ekstrakurikuler yang kalau dihitung-hitung biayanya jauh melebihi rata-rata pendapatan bulanan masyarakat.

 

Dari sini kita bisa melihat bagaimana paham meritokrasi semakin mempolarisasi perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Orang miskin semakin sulit mengakses pendidikan untuk bisa naik kelas karena kompetisi dan biaya yang dikeluarkan semakin membengkak. Sementara yang kaya harus semakin memutar otak dan memeras dompet untuk membuat strategi supaya masa depan anak mereka terjamin.

 

Sayangnya, paham ini akan sangat sulit untuk ditanggalkan karena kepercayaan masyarakat terhadap meritokrasi sangat tinggi, dibuktikan oleh penelitian Mijs dan Hoy (2022). 

 

Dalam penelitian tersebut, 2.765 responden Indonesia percaya bahwa…

 

Orang kaya bisa kaya karena: 

  1. Usaha (33%)
  2. Berasal dari keluarga kaya (20%)
  3. Koneksi (19%)
  4. Korupsi dan faktor lainnya (13%)
  5. Keberuntungan (11%)
  6. Bakat (3%) 

 

Sedangkan orang miskin terus miskin karena:

  1. Tidak berusaha (35%)
  2. Nasib buruk (22%)
  3. Berasal dari keluarga miskin (21%)
  4. Tidak berbakat (14%)
  5. Faktor lainnya (6%)
  6. Penyakit atau difabel (2%)

 

Penting untuk dicatat bahwa mayoritas responden penelitian ini adalah sarjana, mengingat survei ini dilakukan secara daring. Hasil penelitian ini secara tak langsung mengonfirmasi apa yang sudah saya sebut di atas: bahwa universitas merupakan sarang meritokrasi paling besar. Situasi ini diperparah dengan begitu seragamnya kelas ekonomi-sosial para mahasiswa, yang menyebabkan mereka semakin tak sadar akan privilese mereka sendiri. Ketidaktahuan dan indoktrinasi soal meritokrasi kepalang terpatri di kepala mereka. Ironisnya lagi, pandangan ini dipegang pula oleh mahasiswa sosial-humaniora yang padahal saban hari belajar soal ketimpangan struktural. 


Maka tak heran awardee IISMA di atas bisa bersikeras program tersebut memilih orang-orang berdasarkan kemampuan dan kerja keras. Kemampuan berbahasa Inggris, kemampuan mencari informasi soal kampus yang ingin dituju, biaya tes Duolingo atau TOEFL atau IELTS, dan biaya-biaya lainnya tidak masuk hitungan karena menurut mereka, kemampuan berbahasa Inggris dan membayar keperluan tes dan administrasi adalah hal yang lumrah.