MSG: Bumbu Ajaib atau Ancaman Kesehatan?

Penulis: Achmad Susanto
Editor: Hamim Septian
MSG: Bumbu Ajaib atau Ancaman Kesehatan?

Highlight

  • Mengapa Penting:

Pertanyaan seputar keamanan MSG (Monosodium Glutamat) sering menjadi perdebatan di masyarakat. Kecemasan akan efek samping seperti pusing dan kesemutan yang dikaitkan dengan MSG telah menjadi perhatian utama. Namun, penting untuk memahami dengan jelas apakah MSG benar-benar berbahaya bagi kesehatan kita atau hanya mitos yang perlu dibongkar.

  • Gambaran Besar:

Pertama-tama, perlu diingat bahwa menurut World Health Organization (WHO), MSG dalam batas wajar tidak dianggap berbahaya. Bahkan, MSG memiliki keunggulan sebagai alternatif yang lebih sehat dibandingkan dengan garam biasa. MSG hanya mengandung sekitar 1/3 kadar sodium dari garam meja yang umumnya digunakan dalam makanan sehari-hari kita. Dalam artikel ini, kami akan menguraikan mitos dan fakta seputar MSG.

  • Sorotan:

MSG pertama kali ditemukan oleh seorang profesor kimia Jepang, Kikunae Ikeda, pada tahun 1908. Penemuan ini membawa istilah "umami" ke dalam bahasa Jepang, yang menggambarkan rasa gurih. Sejak saat itu, MSG menjadi populer sebagai bumbu dalam hidangan Jepang. Di Amerika Serikat, MSG meluas pada tahun 1940-an, tetapi seiring berjalannya waktu, kampanye anti-MSG muncul, menghadirkan sorotan baru terhadap zat ini.

  • Perspektif Luas:

Awalnya, kampanye anti-MSG mulai marak pada tahun 1968 ketika seorang dokter AS mengklaim mengalami gejala setelah makan di restoran Tiongkok. Puncaknya, pada 1969, Dr. John W. Olney mengklaim bahwa MSG dapat menyebabkan kerusakan otak dan obesitas berdasarkan penelitian terhadap tikus. Ini memicu ketakutan publik dan mengubah persepsi seputar MSG.

  • Perspektif Mendalam:

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian mengklaim bahwa MSG sebenarnya tidak berbahaya. Penelitian terhadap tikus menunjukkan bukti yang tidak meyakinkan terkait kerusakan otak akibat MSG. Penelitian mengkonfirmasi bahwa efek-efek yang ditimbulkan oleh MSG sangat terbatas pada beberapa kasus individu yang "sensitif."

Penelitian terkait hubungan MSG dengan asma juga menghasilkan temuan yang kurang meyakinkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) bahkan melakukan penugasan penelitian independen yang menyimpulkan bahwa MSG hanya dapat menyebabkan efek negatif pada individu yang sangat sensitif, dan itu pun hanya dalam konsumsi berlebihan.

  • Kilas Balik:

MSG adalah bahan yang telah lama digunakan dalam masakan Asia. Meskipun pernah menjadi pusat perdebatan tentang keamanannya, berbagai penelitian terbaru dan pandangan organisasi kesehatan global menunjukkan bahwa MSG, jika digunakan dengan bijak, sebenarnya tidak berbahaya.

 

Baca Juga:

Pentingnya Mengelola Asupan Garam dalam Tubuh Kita

Bahaya Konsumsi Gula Berlebih

Gula, Kamu Enak Tapi Jahat

 

MSG dalam Makanan: Manfaat, Mitos, dan Kontroversi

Mitos dan Fakta tentang MSG

Mitos mengenai bahaya MSG seringkali membuat konsumen meragukan keamanannya. Efek samping seperti pusing dan kesemutan yang dikaitkan dengan MSG telah menjadi sorotan utama di masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pertanyaan mendasar apakah benar MSG berbahaya bagi kesehatan pun muncul.

Pertama-tama, penting untuk mencatat bahwa menurut World Health Organization (WHO), penggunaan MSG dalam batas wajar tidak dianggap berbahaya. Malahan, WHO menunjukkan bahwa kebanyakan orang di seluruh dunia mengonsumsi terlalu banyak garam, yang memiliki risiko lebih besar terhadap penyakit jantung dan stroke. Dalam konteks ini, MSG bisa menjadi alternatif yang lebih sehat. MSG hanya mengandung sekitar 1/3 kadar sodium dibandingkan garam.

Sejarah MSG dan Persepsi Publik

MSG pertama kali ditemukan oleh seorang profesor kimia Jepang, Kikunae Ikeda, pada tahun 1908. Ia meneliti rasa gurih yang khas pada kaldu Jepang yang terbuat dari rumput laut dan ikan kering. Hasil penelitiannya mengungkapkan rasa baru yang dikenal dengan istilah "umami," yang berarti rasa gurih dalam bahasa Jepang. Temuan ini memicu penciptaan merek dagang Ajinomoto yang sukses di pasaran Jepang. Pada 1931, MSG Ajinomoto menjadi bumbu yang populer digunakan di meja makan masyarakat Jepang.

Popularitas MSG meluas ke Amerika Serikat pada tahun 1940-an, terutama berkat kampanye yang mendorong penggunaannya dalam berbagai produk makanan. Pada tahun 1969, AS memproduksi 58 juta pon MSG per tahun. Produk makanan seperti sereal, makanan bayi, kaldu, dan sup yang mengandung MSG menjadi sangat umum. Namun, saat ini banyak merek terkenal di AS justru memproduksi produk tanpa MSG berkat kampanye anti-MSG yang gencar.

Awal Mula Kampanye Anti-MSG

Puncak dari kampanye anti-MSG dimulai pada 1968 ketika seorang dokter AS, Robert Ho Man Kwok, menulis esai di New England Journal of Medicine. Ia mengklaim bahwa ia mengalami mati rasa dan gejala lain setelah makan di restoran Tiongkok. Esai ini menjadi pemicu besar dalam kampanye anti-MSG di Amerika Serikat.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dr. John W. Olney pada 1969 terhadap tikus menyebutkan bahwa MSG dapat menyebabkan kerusakan otak dan obesitas. Hasil penelitian ini menguatkan kampanye anti-MSG.

Tinjauan Kembali Terhadap Kampanye Anti-MSG

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian yang mengklaim bahwa MSG tidak berbahaya. Sebuah penelitian terhadap tikus oleh Charles V. Vorhees tidak menunjukkan bukti kerusakan otak yang signifikan akibat MSG. Penelitian kembali menegaskan bahwa efek-efek yang disebabkan oleh MSG sangat terbatas pada beberapa kasus "sensitif."

Penelitian lain yang menghubungkan MSG dengan asma juga menemukan hasil yang kurang meyakinkan. Bahkan FDA menugaskan penelitian independen yang mengklaim bahwa MSG hanya bisa menyebabkan efek negatif pada individu yang sangat sensitif, dan itu pun hanya dalam konsumsi berlebihan.